Langsung ke konten utama

Sudut Pandang


           Coretan kuas, cat minyak, kanvas, serta ide ide liar menawan sudah telah menjadi sahabatnya. Semua telah menjadi rutinitas Vita sejak di bangku sekolah. Biasanya, saat sore menjelang petang ia selalu ada di balkon, sekedar mengisi kanvas kosong dengan segenap perasaannya. Ia menganggap bahwa warna dapat mewakili perasaanya, tetapi entah kenapa ia seolah sudah terpikat dalam hitam dan putih karena ia sudah merasa cukup menitipkan perasaan pada kedua warna tersebut. Tetapi tetap, ia ingin menjadi seorang pelukis yang dapat dikenang, seperti Vincent Van Gogh atau Pablo Picasso, atau mencipta lukisan se-fenomenal Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci.
            Selalu saja, saat ada acara di balai kota, atau acara kota di tempat lainnya, Vita menjadi penghias acara tersebut, sekedar memajang hasil karyanya di luar acara, secara ilegal. Vita selalu dibantu temannya, Kevin. Vita berharap ia berhasil menunjukan karya karya terbaiknya, namun tanpa ketahuan petugas keamanan acara tersebut. Karena ia tahu, habis nasibnya jika sampai ketahuan. Dan sekarang, ia ada di acara Festival Seni dan Budaya Kota, ia merasa sangat antusias untuk memperlihatkan pada khalayak umum tentang dirinya. Dan ia benar benar siap.
            “Oke maestro, lukisan mana yang akan menjadi bintang kali ini? Apakah lukisan laut ini? Atau lukisan gadis yang masih disimpan itu?”, Kevin bertanya.
            “Hmm, entahlah, tapi aku merasa tertarik pada anak laki laki yang dilukis dari belakang ini, ini sempurna”, jawab Vita.
            “Sempurna? Oke, tolong jelaskan maestro”, tanggap Kevin.
            “Oke, setelah berhenti memanggil maestro”.
            “Baiklah kalau begitu, sekarang tolong jelaskan Vita Jelita”.
            “Iya iya. Hmm, entahlah, lukisan ini sangat menawan, aku merasa aku harus tahu apa yang sedang dilihatnya, atau dirasakannya, apakah dia merasa sepi, sedang menunggu, berkhayal, atau apa, aku tak tahu. Aku hanya mencoba menjadi dirinya, merasakan apa yang mungkin dirasakan olehnya, sepi, menanti, atau apa. Aku tak tahu. Yang jelas, ini lukisan yang menurutku berharga, patut untuk menjadi bintang kali ini. Siapa tahu nanti ada yang mau beli, atau kolektor ternama tak sengaja menengok, kan bisa jadi untung”, Vita menjelaskan.
            “Oke oke, baiklah maestro, itu filosofi yang cukup mengesankan”, jawab Kevin.
            Mereka berdua melanjutkan pekerjaan mereka, memajang lukisan, memberi penjelasan singkat, menawari para pengunjung, atau sekedar basa basi. Namun, para pengunjung tidak tertarik dengan polesan hitam putih pada kanvas karya Vita. Mereka seolah tak menganggap itu seni. Tak ada warna. Hampa. Para pengunjung lebih tertarik pada lukisan penuh warna yang resmi menjadi pengisi acara daripada lukisan hambar yang tak resmi. Tetapi, Vita tak patah semangat. Ia malah termotivasi untuk berkarya lebih baik. Tetap bercita cita mencipta lukisan Mona Lisa versinya.
            Ketika sedang merapikan lukisan, Kevin sempat merasa cemas bilamana ia dan Vita ketahuan oleh petugas keamanan. Ia sering melihat sekeliling. Entahlah, ia merasa pada kesempatan kali ini ia harus lebih hati hati, ia yakin bila lengah, ia akan kecolongan. Maka jika itu terjadi, habislah riwayatnya bersama Vita. Maka ia tetap menjaga kewaspadaanya. Namun ia lega karena selama ia melihat sekeliling, ia tidak melihat petugas keamanan satu pun. Maka Kevin melanjutkan kesibukannya, namun pikirannya tak lepas dari kekhawatirannya. Tak lebih dari 10 menit, Kevin terkaget karena Vita mengajaknya berlari.
            Vita berlari sekuat tenaga sembari membawa lukisan anak laki laki itu di tangannya. Ia menyuruh Kevin agar berlari lebih cepat agar tidak terkejar oleh petugas keamanan. Rupanya, Vita dan Kevin dikejar oleh 5 petugas keamanan. Nafas Vita tersengal karena masih kaget menyadari ia harus berlari. Pikirannya berputar bahwa 5 menit yang lalu sebenarnya ia sedang memajang lukisannya, namun terpaksa untuk memacu adrenalin, membuat kaki bergerak mengambil langkah yang cepat. Vita tahu jika ia sudah ketahuan, dan jika ia dan Kevin tertangkap, habis nasib mereka. Ia terus memacu kakinya untuk berlari. Ia berbelok ke jalan gang kecil di belakang balai kota. Jalannya sempit dan berkelok kelok. Setelah melewati sekitar 7 rumah dan merasa aman, ia pun memutuskan berbelok ke kanan pada belokan selanjutnya, dan ketika itu, bruukkk!!!. Ia menabrak seseorang, ia terjatuh, tetapi segera sadar dan merapikan diri serta menolong pria yang ditabraknya. Kevin mengambil lukisan anak laki laki itu.
            “Untung lukisannya gak kenapa kenapa. Kamu oke Vit?”, Tanya Kevin sembari mengatur nafasnya.
            “Heh nanti dulu. Maaf pak, kami tadi buru buru, soalnya dikejar petugas keamanan, kami takut tertangkap petugas keamanan. Bapak baik baik saja?”, tanya Vita pada pria yang baru saja ditabraknya itu, sambil membantunya berdiri.
            Ketika melihat siapa orang yang ditabraknya, Vita tercengang. Ia tahu percis siapa yang ditabraknya itu. Sony Muntaha. Pria itu adalah kolektor terkenal di kota ini. Pecinta barang seni yang disiplin, tegas, namun tetap baik. Dan Vita tahu, sekarang beliau menjadi ketua pelaksana acara festival ini. Habislah dirinya jika Pak Sony tahu bahwa ia telah memajang lukisan secara ilegal di luar tempat acara.
            “Pak Sony!! Perkenalkan nama saya Vita pak. Ya ampun, maaf pak. Saya benar benar mohon maaf”, mohon Vita.
            “Tak apa apa. Saya masih kuat kok walau sudah cukup berumur begini. Tetapi, lain kali hati hati. Jika orangnya bukan saya mungkin sudah dimarahi habis habisan karena seperti dihantam tembok tiba tiba”, jawab Pak Sony.
            “Iya Pak, saya mohon maaf sekali. Saya sedang terburu buru barusan”, jawab Vita.
            “Tak apa. Apa yang kau pegang itu?”, tanya Pak Sony pada Kevin.
            “Ini? Ehm, ini karya Vita, ia seorang pelukis”, tutur Kevin.
            “Oh ya? Ini karyamu? Ini Sempurna. Menarik. Belum pernah saya melihat lukisan dengan penuh makna dan arti ini. Aku tahu maksudmu. Apa nama lukisan ini?”, tanya Pak Sony.
            “Sudut Pandang, namanya Sudut Pandang”, jawab Vita.
            Hampir Vita meloncat kegirangan karena ia bertemu orang yang terkenal di dunia seni, terlebih karena orang itu terlihat tertarik pada lukisan karyanya. Namun, ia menjadi risau karena ia tahu bahwa mungkin saja para petugas keamanan menemukan mereka, dan Pak Sony mengetahui bahwa dirinya memajang lukisan secara ilegal. Ia tak mau itu terjadi. Tetapi, ia mendengar suara derap kaki, suara kaki yang sedang berlari. Kini hatinya gelisah, ia berharap percakapannya dengan Pak Sony berakhir agar ia bisa segera pergi. Suara itu mendekat dan hatinya semakin gelisah, tetapi perlahan menghilang dan melegakan kembali hatinya. Vita pun melanjutkan percakapannya dengan Pak Sony.
            “Disana!!”, teriak seorang petugas keamanan.
            Kemudian mereka berlari, mendekati Vita dan Kevin serta Pak Sony. Kevin segera mengajak Vita untuk berlari. Tetapi sudah terlambat. Para petugas keamanan sudah dekat, jika berlari pun tak ada gunanya. Maka ia pun pasrah. Para petugas keamanan mendapati Vita sedang bercakap cakap dengan Pak Sony, dan permisi pada Pak Sony untuk segera membawa Vita dan Kevin menuju pos keamanan acara. Tetapi Pak Sony menghalangi, dan meminta petugas keamanan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.   
            Setelah menunggu sekitar 5 menit, Vita melihat bahwa percakapan antara salah seorang petugas dengan Pak Sony telah usai. Ia melihat sorot pandang Pak Sony menjadi berubah, tajam dan menakutkan, bukan seperti Pak Sony yang sebelumnya bertanya mengenai lukisan Sudut Pandang itu. Vita tahu bahwa ia akan dihukum. Maka ia merasa pasrah saat dibawa ke pos keamanan dan menjelaskan semua yang terjadi kepada Pak Sony dan pengurus acara yang lain.
            Pada akhirnya, Vita mendapat hukuman, tetapi membuatnya begitu gembira. Ia berani mengajak Kevin untuk makan dua kali lipat dan Vita yang membayar karena hukumannya. Ia seperti kembang api yang hendak meledak, ia begitu senang. Bagaimana tidak, ia dihukum untuk ikut menjadi pengurus pembantu acara, membereskan acara, dan menjadi salah satu pengisi acara sampingan Festival Seni dan Budaya tersebut. Pak Sony memberi hukuman untuk memajang lukisan minimal 15 lukisan pada setiap Festival Seni dan Budaya sepanjang tahun. Walaupun menjadi pengisi acara sampingan, tapi Vita senang bukan kepalang. Akhirnya ada orang yang menyukai dan memandang lukisannya dari sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan orang.
            Dimulai pada keesokan harinya, Vita dan Kevin menjadi lebih sibuk. Ternyata tidak sedikit orang yang menyukai dan hendak memiliki lukisan Vita. Banyak kolektor kolektor yang tertarik. Setiap hari ada saja yang menanyakan nama lukisan, arti, dan mengapa hanya hitam dan putih. Ketika didapati oleh para kolektor salah satu lukisan Vita yang terdapat warna lain, para kolektor kemudian mengerti. Mereka semakin tertarik dengan lukisan lukisan Vita. Dan tampaknya Vita kini menjadi terkenal.
            Setelah dua tahun, Vita kembali ke kota asalnya setelah menggelar pameran seni di luar negeri. Ia tiba di rumahnya dan melihat Kevin dan ibunya sedang mengurus bayinya. Vita kemudian disambut gembira oleh Kevin dan buah hatinya, serta ibunya. Setelah berbincang bincang dan beristirahat, Vita memutuskan untuk menelusuri rumah, sekedar untuk melepas rindunya terhadap keluarga kecilnya. Ia berkeliling dan sampai di ruang kerjanya. Ia tertegun.

            Vita terkenang atas perjuangannya selama ini. Teringat dirinya yang penuh semangat, pantang menyerah, serta tetap berusaha menampilkan yang terbaik hingga menjadi dirinya yang sekarang. Ia ingat berbagai macam masalah yang terus muncul yang pernah ia hadapi sebelum menjadi Vita seorang pelukis terkenal. Vita terdiam melihat lukisan anak laki laki yang dilukis dari belakang itu. Tetap menerka apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Tetapi kali ini ia merasakan hal lain. Merasakan seseorang yang tegar, penuh semangat, dan penuh hasrat untuk berusaha. Ia melihat dirinya. Vita Jelita dalam Sudut Pandang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tes Galli Mainini (GM Test)

Tahukah Anda? Apa hubungannya kodok jantan dewasa dengan kehamilan? Sedikit mengherankan bahwa kedua hal itu berhubungan, namun hubungan tersebut merupakan suatu hal besar. Tes Galli Mainini namanya, tes ini ditemukan oleh Carlos Galli Mainini pada 1952 dengan tujuan untuk mengetahui apakah seseorang sedang mengalami kehamilan atau tidak. Seorang wanita yang sedang hamil akan memproduksi hormon Human Chorionic Gonadotropin atau hormon HCG. Hormon inilah yang berperan penting dalam berlangsungnya Tes Galli Mainini ini. Untuk melaksanakan tes ini, ada beberapa hal yang dibutuhkan, seperti : Kodok jantan dewasa Urin wanita yang diduga hamil Alat suntik Mikroskop Berikut merupakan langkah kerja dalam pelaksanaan Tes Galli Mainini. Pastikan dalam urin kodok tidak terdapat sperma, dengan cara kodok dikagetkan, dengan ini kodok akan mengeluarkan urin atau istilahnya kencing. Sperma kodok dapat diamati di bawah mikroskop. Setelah dipastikan bahwa urin kodok tidak mengan

Perjalanan Menuju SMANSA Garut

Pada awalnya, saya tak terpikirkan akan melanjutkan jenjang SMA saya di salah satu SMA terbaik di Kabupaten Garut. Garut? Ya, kota yang dijuluki Swiss Van Java ini adalah tempat adanya SMAN 1 Garut (yaiyalah -_-). Pada saat kelas 3 SMP, saya ngebet banget pengen masuk SMA Tarnus, atau Taruna Nusantara yang ada di Magelang itu. Singkat cerita, saya mendaftar dan menyerahkan syarat syarat administrasi seperti nilai raport, surat surat dan lainnya. Namun, takdir berkata lain, saya tidak bisa melanjutkan proses penerimaan siswa baru ke tahap selanjutnya, karena nilai saya kurang 1 poin pada mata pelajaran IPA kelas 7 semester 1. Sempat sedih, namun tak patah semangat, karena saya optimis masuk SMA favorit di kota sendiri. Saya pun ikut mayoritas siswa bimbang yang bukan siswa siapa siapa lagi. Udah lulus SMP tapi belum keterima SMA. Syarat syarat pendaftaran, biaya administrasi, kejelasan keberadaan berkas pendaftaran, passing grade SMA, semua itu memenuhi pikiran selain harapan a

Watashi no Tomodachi

Sebelum membaca ini, aku ingin kau menyiapkan jawaban dari pertanyaan ini di akhir cerita. Siapakah Aku dan Temanku?. Aku sedang berbaring. Menunggu kantuk mengambil alih pada malam hari. Seperti biasa, di dalam benak, seperti taman yang ramai dengan pikiran. Lalu lalang berbagai hal yang terpikir. Sekolah, pelajaran, tugas, dan teman. Ya, teman. Seketika aku seperti dihantam suatu hal yang amat besar ketika kata “teman” menyapa pikiranku. Aku merasakan setiap sel otak terkesima ketika kata “teman” menyapa mereka. Entahlah, aku tak tahu darimana asalnya, tetapi aku hanya berbicara pada diri sendiri “apakah kau akan memiliki teman?”.             Seperti biasa, aku datang ke sekolah. Menurunkan kursi, menyimpan tas, melepas jaket, kemudian duduk. Aku tertegun dan menolak. Kemudian ku teruskan membaca buku. Aku ingin menyapa seisi kelas, atau disapa sebagian orang. Tetapi pikiran dinginku mengambil alih. Aku terdiam, bibirku beku untuk berbicara, mukaku datar, ekspresiku seperti ba