Langsung ke konten utama

Orang yang salah atau orang yang terkena salah?

source : www.poetryfoundation.org
source : www.poetryfoundation.org
“Aku seharusnya menanyakan bagaimana kabarnya”, “aku seharusnya tanya dari mana”, “aku seharusnya tanya sedang apa”, “aku seharusnya bisa lebih dari sekedar berpapasan dan sebut namanya”, begitulah gumamku dalam hati. Setiap kali aku bertemu orang yang termasuk golongan “acquaintance” menurutku dan setelah gelisah karena takut dikira orang yang awkward, jutek, dan sungkan. Setiap kali aku bertemu orang yang termasuk dalam kategori “kenalan” menurutku setelah dengan segenap hati melawan rasa anxiety karena overthink. Setiap kali ... ah rasanya tak perlu aku lanjutkan.

Entah Cuma aku atau ada orang diluar sana yang mempunyai perasaan yang sama. Gelisah, gerogi, takut, malu, diperparah dengan lintas-lintas pikiran tentang hal kurang menyenangkan yang bisa terjadi silih bergantian memenuhi otakku yang hanya sebesar mangkok mie ayam. Dan kita berpapasan, lalu “eh, fulan”, “hai fulan”, “fulan” sembari senyum dan terus berjalan. Hanya itu. Tidak ada lagi. Yang muncul hanyalah gumaman tentang basa-basi apa yang seharusnya bisa terjadi. Sebagian besar momen pertemuanku dengan kenalan hanya sebatas itu. Tapi aku tahu dan mau bahwa bisa lebih dari itu.

Ada lagi.

“Kayaknya kenal orang yang lagi duduk itu”, “hmm, dia kayaknya yang dulu sekelompok pas acara itu deh”, “kayaknya kenal, tapi namanya siapa ya”, “wah dia yang jadi asdos matkul ini deh”. Kau tahu? Aku senang karena mengingat mereka. Ya, aku senang tapi aku kan menyesal. Kenapa? Karena aku tak berani mendekat dan menyapa mereka. Overthink? Mungkin dan iya.

Apa aku salah?.

Apa aku salah karena tidak menyapa mereka? Apa aku salah karena tidak berbasa-basi terhadap mereka? Apa aku salah tidak memanggil kenalan yang baru bertemu sekali?. Entahlah, tapi aku merasa iya. Di lain sisi, aku harus melawan rasa gelisah, malu, takut, dan segala pikiran tentang hal kurang menyenangkan yang sebenarnya kecil kemungkinan untuk terjadi. Semakin keras mencoba tuk tenang, semakin kencang pikiran-pikiran itu muncul. Yang pasti aku ingin berubah, ingin berani, ingin mengaktualisasikan diri, ingin kenal, ingin dekat, ingin punya teman banyak.

Tapi, apa aku orang yang terkena salah?

Tak bermaksud menyalahkan segenap pihak yang telah hadir mendampingiku dalam masa-masa belajar dan masa-masa pengembangan karakter individu. Tidak. Hanya saja tersirat pikiran bahwa mungkin aku adalah orang yang terkena salah yang hingga menyebabkan aku menjadi seperti ini.

Teringat kemarin aku mendengar audio ceramah dari Ustadz Abdullah Zaen mengenai “Orang Tua Pemadam Kebakaran”. Tidak bermaksud menyalahkan orang tuaku, hanya sebagai pengingat buatku bahwa aku sebagai orang tua nanti harus mengerti cara menjadi orang tua. Aku harus paham bahwa menjadi orang tua bukanlah menjadi alarm saja ketika anakku melakukan keburukan. Aku harus mengapresiasi sekecil apapun kebaikan yang dilakukan anakku dan sebisa mungkin mengedukasinya agar termotivasi melakukan kebaikan yang lebih besar. Aku harus paham perkembangan psikologis anakku agar bisa tumbuh dan punya pribadi yang aktif dan setidaknya tidak sepertiku. Aku harus paham.

Lagi, aku sebagai orang tua nanti harus terus berupaya sehingga anakku merasa bahwa ada aku tempat cerita paling aman di dunia. Aku sebagai orang tua nanti harus paham mengenai pergaulan anakku, siapa temannya, apa kesukaannya, apa kebutuhannya hari ini; esok; minggu depan, sampai bagaimana perasaannya hari ini. Aku sebagai orang tua nanti ... aku tahu banyak yang harus aku kerjakan dan pelajari, tapi itu semua agar anakku setidaknya tidak menjadi seperti aku. Agar dia sehat selain secara fisik juga secara mental.

Lalu, apakah aku orang yang salah atau orang yang terkena salah? Entahlah. Aku hanya bisa mengira dan orang lain bisa menjawab. Aku hanya bisa berdoa kepada Allah agar aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu, aku mohon doakan aku dan dukung aku. Aku masih merasa bahwa aku berjuang sendiri.

Terimakasih, inilah aku.


Tulisan ini dibuat karena aku ingin mengomunisasikan perasaan yang cenderung kencang muncul beberapa minggu terakhir. Aku tak bermaksud menyalahkan siapapun. Aku menulis ini karena aku ingin menyadari beberapa hal dan sebagai pembelajaran buatku.
Mangga, ini dia link YouTube ceramah Ustadz Abdullah Zaen.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tes Galli Mainini (GM Test)

Tahukah Anda? Apa hubungannya kodok jantan dewasa dengan kehamilan? Sedikit mengherankan bahwa kedua hal itu berhubungan, namun hubungan tersebut merupakan suatu hal besar. Tes Galli Mainini namanya, tes ini ditemukan oleh Carlos Galli Mainini pada 1952 dengan tujuan untuk mengetahui apakah seseorang sedang mengalami kehamilan atau tidak. Seorang wanita yang sedang hamil akan memproduksi hormon Human Chorionic Gonadotropin atau hormon HCG. Hormon inilah yang berperan penting dalam berlangsungnya Tes Galli Mainini ini. Untuk melaksanakan tes ini, ada beberapa hal yang dibutuhkan, seperti : Kodok jantan dewasa Urin wanita yang diduga hamil Alat suntik Mikroskop Berikut merupakan langkah kerja dalam pelaksanaan Tes Galli Mainini. Pastikan dalam urin kodok tidak terdapat sperma, dengan cara kodok dikagetkan, dengan ini kodok akan mengeluarkan urin atau istilahnya kencing. Sperma kodok dapat diamati di bawah mikroskop. Setelah dipastikan bahwa urin kodok tidak mengan

Perjalanan Menuju SMANSA Garut

Pada awalnya, saya tak terpikirkan akan melanjutkan jenjang SMA saya di salah satu SMA terbaik di Kabupaten Garut. Garut? Ya, kota yang dijuluki Swiss Van Java ini adalah tempat adanya SMAN 1 Garut (yaiyalah -_-). Pada saat kelas 3 SMP, saya ngebet banget pengen masuk SMA Tarnus, atau Taruna Nusantara yang ada di Magelang itu. Singkat cerita, saya mendaftar dan menyerahkan syarat syarat administrasi seperti nilai raport, surat surat dan lainnya. Namun, takdir berkata lain, saya tidak bisa melanjutkan proses penerimaan siswa baru ke tahap selanjutnya, karena nilai saya kurang 1 poin pada mata pelajaran IPA kelas 7 semester 1. Sempat sedih, namun tak patah semangat, karena saya optimis masuk SMA favorit di kota sendiri. Saya pun ikut mayoritas siswa bimbang yang bukan siswa siapa siapa lagi. Udah lulus SMP tapi belum keterima SMA. Syarat syarat pendaftaran, biaya administrasi, kejelasan keberadaan berkas pendaftaran, passing grade SMA, semua itu memenuhi pikiran selain harapan a

Watashi no Tomodachi

Sebelum membaca ini, aku ingin kau menyiapkan jawaban dari pertanyaan ini di akhir cerita. Siapakah Aku dan Temanku?. Aku sedang berbaring. Menunggu kantuk mengambil alih pada malam hari. Seperti biasa, di dalam benak, seperti taman yang ramai dengan pikiran. Lalu lalang berbagai hal yang terpikir. Sekolah, pelajaran, tugas, dan teman. Ya, teman. Seketika aku seperti dihantam suatu hal yang amat besar ketika kata “teman” menyapa pikiranku. Aku merasakan setiap sel otak terkesima ketika kata “teman” menyapa mereka. Entahlah, aku tak tahu darimana asalnya, tetapi aku hanya berbicara pada diri sendiri “apakah kau akan memiliki teman?”.             Seperti biasa, aku datang ke sekolah. Menurunkan kursi, menyimpan tas, melepas jaket, kemudian duduk. Aku tertegun dan menolak. Kemudian ku teruskan membaca buku. Aku ingin menyapa seisi kelas, atau disapa sebagian orang. Tetapi pikiran dinginku mengambil alih. Aku terdiam, bibirku beku untuk berbicara, mukaku datar, ekspresiku seperti ba